Pagi2 tadi sudah nongkrong di salah satu social network. ga ada kerjaan, sambil menyeruput segelas chococino dan sarapan roti. sambil liat2 postingan, eh nemu salah satu postingan tmn di fb tentang cerpen, hasil share dari salah sati surat kabar harian via online. cerpen yang menarik menurutku. sangat menarik. langsung saja check this out. Aku pengen share disini juga. Ini link nya disini.
***
Logika Tak Suka Cinta
Cerpen Bernard S. Y. Batubara
Sudah lama aku hidup dengan logika. Bagiku ia sahabat terbaik
sepanjang masa. Bahkan saat aku masih di kandungan ibuku pun barangkali
ia sudah berbaring turut melengkung di sebelahku. Ikut menendang-nendang
perut ibuku, kadang malah iseng menyenggol-nyenggol bahuku.
Aku
dan logika tak pernah terpisah. Nyaris sembilan belas tahun aku berjasad
dan ber-ruh, logika tak pernah sedikitpun bergeser letak dariku. Nyaris
selama itu pula logika selalu membantuku, bermain-main dalam jasad dan
ruh-ku, tapi tak pernah meninggalkanku barang sekerjap waktu sekalipun.
Ia
berlari saat aku terburu-buru mengejar waktu, tapi ia tidak ngos-ngosan.
Ia membungkuk saat aku tertekan dan terpuruk, tapi ia tidak sayu dan
layu. Ia tegap saat aku dilanda senang, tapi ia tidak melayang. Ia siaga
saat aku mengernyitkan jidat dan memicingkan mata jika ada seseorang
yang dengan tidak sopannya menyenggolku. Namun ia tidak berteriak. Itu
logika ku. Logika yang begitu kupuja sepenuh hidupku. Yang selalu tahu
apa yang harus aku kerjakan ketika aku sedang dilanda apapun. Yang tak
pernah salah memberitahuku apa yang harus kulakukan.
Begitu
bangganya aku dengan logika ku. Sampai aku heran sekali melihat orang
yang begitu mudahnya tersulut api amarah hanya karena wajahnya tiba-tiba
ditampar orang di jalan raya. Betapa gampangnya orang menangis
mengharu-biru hanya karena ditinggal wafat oleh sanak keluarganya.
Betapa durjanya orang bermuram kala tidak mendapat pekerjaan setelah
seharian mendatangi berbagai lowongan.
Aku hanya heran di mana
logika mereka. Tidakkah mereka juga punya logika, sama sepertiku. Tapi
kenapa mereka tidak bertingkah sepertiku. Aku tidak pernah marah ketika
orang mencaci-makiku, bahkan meludahiku tanpa alasan yang jelas
sekalipun. Aku tidak pernah menangis tersedu-sedu ketika ayah dan ibuku
mati di depan mataku. Aku tidak pernah murung ketika seharian harus
berjalan kaki keluar-masuk pintu kantor tanpa mendapat hasil. Karena aku
punya logika. Logika ku yang begitu kupuja. Logika ku yang selalu
memberiku alasan kenapa semua itu terjadi. Logika yang selalu bisa
membuat aku mengerti apa yang kulalui dan kuhadapi dalam hidupku.
- - o - -
Aku
bangga dengan logika. Masih bangga. Masih kupuja. Hingga aku bertemu
dengan seorang wanita yang menyapaku di dunia maya. Tidak pernah
sekalipun kami bersua. Hanya perbincangan ringan lewat kata-kata yang
muncul di layar komputer saja. Aku sapa. Dia sapa. Sedikit basa-basi,
dan kamipun larut dalam canda tawa yang membuatku lupa dengan logika.
Kadang
aku ditemani dengan secangkir teh hangat. Sambil berbincang-bincang
dengan wanita itu. Dia juga begitu hangat menyapa dan berbicara
kepadaku, seperti secangkir teh yang setia menemaniku setiap aku bersua
dengannya-tentu di ranah maya. Dia sungguh pandai membuatku terlena
dalam tiap kata nya. Tidak ada yang membuatku begitu bersemangat melalui
hari-hariku selain menghabiskan beberapa jam berbincang-bincang
dengannya. Wanita itu selalu bisa membuatku tersenyum. Tak pernah
kehabisan akal untuk membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Hingga satu
hari aku mendapat nilai C di salah satu mata kuliahku-yang membuatku
merasa ingin langsung mendatangi dosen pengampunya dan mengacak-ngacak
wajahnya yang menyebalkan, wanita itu bisa membuatku lupa bahwa indeks
prestasiku jatuh gara-gara nilai mata kuliahku itu.
Aku memuja
wanita itu. Begitu bangganya aku dengan dia. Tidak ada yang membuatku
begitu gundah gulana kecuali sehari tak mendapatkan kabar darinya. Tidak
ada yang membuatku sangat gelisah dan merasa ingin mati saja, selain
saat malam itu aku membuatnya mengeluarkan air mata. Oh, tidak. Aku
telah berbuat salah. Salah yang sangat besar. Begitu besarnya hingga
lebih baik aku dihukum dijadikan buta saja oleh Tuhan, daripada aku
harus melihat wanita itu memberikan wajah dengan lelehan air mata.
Aku
melihat air mengalir dari kedua bola matanya yang bulat dan indah.
Sedikit berkilau karena basah oleh airmata, yang masih saja terus
mengalir, sudah lewat beberapa belas menit padahal. Ia terus saja
mengeluarkan air mata. Aku harus apa. Aku harus bagaimana. Apa yang
harus aku lakukan agar wanita itu tidak mengeluarkan air mata. Aku tidak
bisa melihat ia seperti itu. Karena saat ia mengeluarkan air mata ia
tidak bisa tertawa ria. Ia tidak bisa membuatku tersenyum, apalagi
terpingkal-pingkal. Aku harus bagaimana.
Entah kenapa, sejak itu
logika ku jarang muncul. Aku cari-cari dia. Aku ingin sekali bercerita
tentang wanita yang kukenal lewat ranah maya. Aku ingin sekali berbagi
dengan logika. Karena memang aku tak pernah lupa menceritakan apapun
yang terjadi dalam hari-hariku kepada logikaku.
Aku ingin bertanya
pada logika apa yang harus kulakukan terhadap wanita itu. Karena aku
ingin wanita itu tidak meninggalkanku. Aku ingin wanita itu selalu
menemaniku berbincang-bincang kapanpun masih hidup waktu. Aku tak mau
wanita itu berhenti membuatku tertawa. Aku tak ingin dia pergi dari
pikiranku. Aku tak ingin dia mengeluarkan air mata.
Aku ingin minta saran dari logika. Karena logika ku tak pernah salah. Ia selalu tahu apa yang harus kulakukan.
- - o - -
Hari
berganti. Logika ku belum juga bisa kutemui. Aku gelisah. Semakin detik
waktuku berlalu semakin resah. Aku seperti linglung. Berjalan
mondar-mandir tak tentu dalam kamarku yang ikut murung. Aku bingung.
Wanita itu masih mengeluarkan air mata, sementara logika ku juga lenyap
entah ke mana.
Aku letih. Aku berbaring saja di kasurku yang
sekarang jadi tak begitu nyaman. Mungkin karena apa yang sedang aku
alami sekarang, membuat setiap anggota badanku bertambah beban.
Aku
pejamkan mata dengan beribu gundahku. Dalam pandanganku yang tak lagi
memandang aku masih mencari-cari logika. Kucari-cari ia dalam kelopak
mataku yang sudah mengatup menutup bola mataku. Aku bergumam, berharap
logika muncul dan berbaring di sebelahku. Karena aku begitu butuh ia
sekarang. Sekarang juga. Aku mau bertanya tentang apa yang kualami
dengan wanita itu.
“Itu cinta.”
Aku tergagap. Mataku membuka
sekejap, mengernyitkan jidat dan memicingkan mata. Itu suara logika!
Logika datang. Ah, betapa senangnya aku. Kini aku bisa bercerita panjang
lebar dengannya. Aku bisa menceritakan tentang wanita itu kepadanya.
“Kau mau bertanya tentang kau dan wanita itu kan? Kau sedang bingung kan?”
Aku
mengangguk cepat. Seperti yang kuduga. Logika selalu tahu apa yang aku
alami. Tentu saja, ia juga tahu apa yang harus aku lakukan terhadap apa
yang aku alami tersebut. Aku sekarang bersemangat, bersemangat untuk
mendengar sarannya terhadap aku dan wanita itu.
“Itu namanya cinta, teman.”
Aku termangu. Aku memandang logika dengan terheran. Aku belum pernah dengar itu.. ‘cinta’.
“Kau
tahu kenapa aku selalu tidak ada bersamamu, setiap kau bertemu dan
berbincang panjang-lebar dengan wanita itu?” Tanya logika, yang langsung
menjawab pertanyaannya sendiri tanpa menunggu aku mengeluarkan sepatah
katapun dari bibirku yang tiba-tiba jadi kelu. “..karena aku tau cinta
akan datang padamu.”
Aku terdiam saja. Memandang logika lekat-lekat seolah bertanya padanya, ‘kenapa?’.
“Oh
ya aku lupa”, logika menggaruk-garuk kepalanya dengan malas. “Kau belum
pernah melihatku bertemu dengan dia ya. Asal kau tahu saja, kami tidak
begitu berteman akrab. Aku tidak suka dengan cinta. Kau tahu, setiap
kami berjumpa kami selalu bertengkar. Jadi lebih baik aku pergi
menyingkir saja darimu, sementara cinta menemanimu.”
Aku memberikan pandangan memelas pada logika. Ia tahu bahwa aku sedang bertanya padanya, ‘lalu aku harus bagaimana?’.
“Jangan
bertanya padaku tentang cinta, teman. Aku sudah bilang aku tidak suka
dia. Lagipula kau tidak perlu aku untuk membahas soal cinta. Aku tidak
bisa sekalipun mengerti dia. Begitu juga dia, tidak pernah sedetikpun
bisa mengerti aku.” Jawab logika dengan nada ingin cepat-cepat menyudahi
perbincangan ini.
Aku tertunduk. Logika tidak pernah seperti ini
padaku. Ia selalu tahu, dan selalu bisa menolongku kapanpun aku butuh.
Tapi kini ia jadi begini. Ia malas berurusan denganku saat ini. Hanya
karena ia tidak suka dengan cinta.
“Oh ya, satu yang perlu kau ingat
teman. Kau tidak perlu seperti itu karena aku meninggalkanmu.” Kata
Logika lagi. “.. karena cinta akan lebih sering meninggalkanmu daripada
aku.”
Lalu logika pergi lagi dariku. Tanpa berbicara lagi, ia lenyap dalam sejuta rasa cemasku.
(Djogdjakarta. 2008. 21 Juni)
----------
Bernard S. Y. Batubara,
lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 9 Juli 1989. Mahasiswa Jurusan
Teknik Informatika, UII Yogyakarta. Aktif menulis di beberapa komunitas
penulis/sastra dan milis di internet. Bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) PROFESI sebagai staff redaksi.
Source: http://nasional.kompas.com/read/2008/12/09/21200912/logika.tak.suka.cinta
No comments:
Post a Comment